K
|
aliwiro
secara geografis merupakan daerah dataran menengah berupa
pegunungan/perbukitan. Vegetasi pertanian di daerah Kaliwiro cukup bervariasi
yang tumbuh pada areal persawahan berupa padi,
maupun ladang atau tegalan yang terdiri dari palawija berupa kopi,
cengkih, kapulaga, jagung, ketela pohon, ketela rambat, kakao dan lain
sebagainya, juga banyak tanaman kayu seperti mahoni, suren, albasia, sengon,
jati dan lain sebagainya. Di samping itu banyak petani yang menanam kelapa
dengan dua tujuan yaitu ada yang diambil kelapanya dan ada yang disadap (“dideres”)
untuk diambil nira/badignya sebagai bahan dasar pembuatan gula merah.
Mengingat daerahnya merupakan dataran menengah, maka pohon
kelapa masih dapat berbuah dengan baik sehingga dalam waktu kurang lebih satu
bulan sekali petani dapat memanen buah kelapa, di sisi lain bahkan banyak
petani yang mengusahakan kelapa ini untuk disadap (“dideres”) guna mengambil
nira/badig dari pohon kelapa tersebut. Dari kegiatan ini maka para petani
penyadap mendapatkan hasil harian berupa gula merah yang dapat dijual
sewaktu-waktu kepada para pedagang atau langsung ke pasar.
Proses pembuatan gula merah :
1.
Mula-mula
nira/badig di letakkan di wajan dengan disaring, kemudian dipanaskan (biasanya
menggunakan tungku dan bahan bakarnya berupa kayu bakar).
2.
Dari
tersebut akan mengeluarkan buih yang lama kelamaan akan semakin banyak. Setelah
cukup panas maka buih tersebut pada bagian tengah akan terbuka (“bedah”).
3.
Pada
tahapan berikutnya terjadi letupan gelembung-gelembung pada nira yang sudah
agak kental (tidak encer lagi), jika dibiarkan gelembung-gelembung nira ini
akan tumpah. Ini sering namai oleh masyarakat kaliwiro “mumbul”. Pada tahapan
ini agar nira tidak tumpah dari wajan maka biasanya diberi parudan kelapa
(“ipah”), sehingga nira yang mau tumpah akan surut kembali.
Setelah “mumbul” maka
tinggal menunggu sampai nira/badig di dalam wajan cukup kental (tua). Setelah
tua maka api dimatikan dan ditunggu sampai benar-benar kental dan selanjutnya baru dicetak umumnya di
kaliwiro menggunakan lingkaran dari bambu (“blengker”) dan ditunggu sampai
kering selanjutnya siap dikemas setelah dingin dan bisa dipasarkan.